“Apa
yang Ayah lakukan di ruangan ini? Mengapa Ayah selalu menangis di ruangan ini?
mengapa Ayah selalu berdiam diri di ruangan ini? Ayah, Ayah, Ayah”. Tanyaku
setiap hari di ruangan ini dengan wajah yang begitu polos ketika aku masih
berumur 4 tahun.
”Ayah
selalu berada di ruangan ini karena Ayah
melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu sholat lima waktu, Ayah
selalu menangis di ruangan ini karena Ayah selalu mengingat dosa-dosa Ayah, Ayah
berdiam diri di ruangan ini karena Ayah ingin merasakan ketenangan.” Jawab Ayah
sambil memelukku di pangkuannya.
“Ayah,
Apakah aku bisa melakukannya?.” Tanyaku kembali kepada Ayahku.
“
Tentu bisa Nak, hal ini akan menjadi kewajibanmu sebagai seorang muslim.” Ucap
Ayah sembari mengelus-ngelus kepalaku.
“Kalau
begitu Ayah, ajari aku sholat.” Ucapku sambil memeluk dan mengkecup kening Ayahku
dengan senyuman yang begitu lebar.
“
Sungguh mulia hatimu Nak. Ayah janji kalau Alif bisa menghafal gerakan sholat
yang Ayah ajarkan, Ayah akan membelikan Alif sajadah yang baru.” Ucap Ayah
sambil tersenyum kepadaku.
Di
ruangan ini Ayah selalu mengajariku tentang agama, memang kehidupan agama
sangat melekat pada diri Ayah, cahaya keimanannya terlihat dari wajahnya yang
bersinar begitu cerah karena air wudhu yang selalu membasahi seluruh wajahnya, dan
di dahinya terdapat dua titik yang menghitam karena sering melakukan sujud saat
sembahyang. Setiap malam Ayah selalu melantunkan ayat suci al-quran, hal itu
membuat hatiku menjadi tenang saat mendengarnya.
Latihan
sholat aku lakukan dengan penuh semangat di ruangan ini, aku tak sabar lagi
memperoleh sajadah yang baru dari Ayahku. Setelah berbagai gerakan sholat aku
hafal, Ayah menyuruhku menghafal doa-doa yang ada dalam gerakan sholat. Hal itu
sangat sulit aku hafalkan, namun ayah selalu memotivasiku tanpa ada rasa
mengeluh dari dirinya. Saat ayah lupa mengajariku gerakan sholat dan
hafalannya, aku selalu berinisiatif mengingatkannya disaat ia terlelap maupun
beristirahat di belakang rumah. Aku ingat dengan perkataan yang selalu aku
keluarkan dari mulut mungilku.
”Ayah,Ayah
ajari aku sholat.” Ucap ku kepadanya saat ia tengah beristirahat. Walaupun aku
tahu ia sangat lelah karena pekerjaannya yang sangat menguras tenaga, aku selalu
memaksanya untuk mengajariku. Kadang kala aku marah jika Ayah tak segera
mengajarkan gerakan sholat.
“Ia,
Nak boleh Ayah istirahat sebentar.” Ucap Ayah sembari berbaring di kursi sofa.
“Aku
maunya sekarang Yah.” Ucapku sambil memperlihatkan wajah yang jutek seperti
anak-anak biasanya.
Ayah
beranjak bangun dari kursi sofa dan menuju keruang sholat, aku bermanja ria
dengan Ayahku. Aku mulai melantunkan doa-doa berserta gerakan sholatku layaknya
sholat 5 waktu sungguhan. Tinggal hafalan doa diantara dua sujud yang belum aku
hafalkan, namun aku terus berusaha menghafalnya dengan cara melakukan 3 kali
latihan gerakan sholat, akhirnya aku berhasil melafalkan doa diantara dua
sujud, sampai di bagian pengucapan salam. Setelah selesai aku langsung memeluk
diri Ayah yang masih setia menungguku di sudut ruangan.
“Ayah,
Aku berhasil Yah.” Ucapku dengan nada yang gembira.
Ayahku
tersenyum dan menyuruhku menunggu di ruang sholat, Ayah pergi kedalam kamar
untuk mengambilkan sajadah yang baru untukku. Terlihat sebuah kotak pembungkus
sajadah dihiasi dengan pita yang berwarna biru membuat kado sajadah menjadi
lebih cantik. Aku pun memberi kecupan kasih sayang kepada Ayah di pipinya.
“Alif,
ini hari terakhir Ayah mengajarkanmu gerakan sholat.” Ucap Ayah sambil
memberikan senyuman.
“Kenapa,
Ayah?.” tanya ku kepada Ayah.
“
Kan Alif udah tau tata cara sholat, masa Ayah ngajarin lagi. hadiahnya udah kamu dapat juga kan.” Ucap
Ayah sambil mencubit hidungku.
“
Oh, ia Yah jadi aku udah bisa kayak Ayah jadi imam saat sholat kan Yah. Terima
kasih hadiahnya Ayah,sajadahnya bagus banget Yah.” Ucapku sambil tertawa.
Ayah
hanya menggelengkan kepalanya dengan sedikit senyuman, ia memelukku dengan erat
seperti tak ingin melepaskan ku.
Waktu
magrib telah tiba seperti biasa Aku, Ayah dan Ibu melaksanakan sholat berjamaah
di ruang sholat. Saat aku ingin menjadi imam, Ibu melarangku katanya umurku
belum cukup untuk menjadi imam sehingga Ayahku yang menjadi imam saat sholat
Magrib. Rakat demi rakaat, aku ikuti dengan khusyuk sampai di rakaat terakhir.
Setelah mengucapkan salam tiba-tiba Ayah langsung berbaring di atas sajadah, tangan Ayah
terlihat memegang dada kirinya dan Ayah mengeram kesakitan.
Beberapa
detik telah berlalu, mata Ayah tertutup seperti orang yang sedang tertidur. Air
mata ibu tak dapat terbendung lagi sehingga tumpah membasahi seluruh pipinya.
Aku dan ibu berusaha membangunkannya, namun Ayah tak kunjung terbangun dari
tidurnya. Saatku sentuh tubuh Ayah, tubuhnya terasa dingin di kulitku tak
seperti biasanya yang terasa begitu hangat saat menyentuhku, dan wajahnya telihat pucat.
“Ayah,
Ayah, bangun Ayah.” Ucapku sambil mengerakan tubuh Ayah.
“Ada
apa dengan Ayah, Ibu?” tanyaku kepada ibu dengan tatapan kebingungan.
“Ayah
sedang tertidur, Nak”.Ucap Ibu dengan tangisan yang tersedu-sedu.
Aku
baru mengetahui apa maksud perkataan ibu ketika aku sudah mulai beranjak
dewasa. Ternyata Ayah tertidur untuk selamanya, ia pergi ke surga meninggalkan
kami berdua. Tuhan begitu cepat memanggilnya, padahal diumur yang seperti itu
aku belum siap hidup tanpa seorang Ayah. Mungkin tuhan sangat menyayangi Ayahku
sehingga ia cepat mengambilnya dari pelukanku. Di saat itulah aku terakhir
menatap wajahnya, dan belajar sholat dengannya.
“Aku
sangat berterima kasih padamu Ayah berkat engkau mengajariku gerakan sholat aku
bisa menjadi imam dalam keluargaku. Ayah hanya ini yang bisa aku ucapkan padamu
semoga engkau tenang di alam sana. Ayah aku yakin suatu hari nanti aku akan
bertemu denganmu lagi. Ayah tak ada yang bisa menggantikanmu, aku selalu
menyayangimu dan akau selalu mencintaimu ” Ucapku dalam hati sembari berdiri di depan
pintu ruangan sholat.
TAMAT
Aisyah Rokhimah
Komentar
Posting Komentar